Pengaruh Kerajaan
Sriwijaya di Nusantara - Kerajaan Sriwijaya berpusat di daerah yang
sekarang dikenal sebagai Palembang di Sumatra. Pengaruhnya amat besar meliputi
Indonesia, Semenanjung Malaysia dan Filipina. Kerajaan yang menjadi cikal bakal
Melayu tua ini menjadi sponsor utama penyebaran budaya dan bahasa melayu.
Walaupun tidak mengklim sebagai sumber dari budaya melayu seperti di
Semenanjung Melayu, tetapi kemelayuan kerajaan Sriwijaya tidak dapat dtolak.
Bahkan peran Kerajaan Sriwijaya dalam memperluas budaya melayu jauh lebih besar
dari pada kerajaan-kerajaan yang mengklim sebagai kerajaan melayu di seperti
Kerajaan Melayu di semenanjung melayu dan Kerajaan Kedah.
Kekuasaan Sriwijaya merosot pada abad ke-11. Kerajaan
Sriwijaya mulai ditaklukkan oleh berbagai kerajaan Jawa, pertama oleh kerajaan
Singosari (Singhasari) dan akhirnya oleh kerajaan Majapahit. Malangnya, sejarah
Asia Tenggara tidak didokumentasikan dengan baik. Sumber sejarahnya berdasarkan
laporan dari orang luar, prasasti dan penemuan arkeologi, artifak seperti patung
dan lukisan, dan hikayat.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama
oleh budaya agama Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama
Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan
pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan
Melayu melewati perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad
ke-9. Pada masa yang sama, agama Islam memasuki Sumatra melalui Aceh yang telah
tersebar melalui hubungan dengan pedagang Arab dan India. Pada tahun 1414
pangeran terakhir Sriwijaya, Parameswara, memeluk agama Islam dan berhijrah ke
Semenanjung Malaya dan mendirikan Kesultanan Melaka.
Agama Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana
disebarkan di pelosok kepulauan nusantara dan Palembang menjadi pusat
pembeljaran agama Buddha. Pada tahun 1017, 1025, dan 1068, Sriwijaya telah
diserbu raja Chola dari kerajaan Colamandala(India) yang mengakibatkan
hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025, raja Sri
Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah
kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya
kemegahan Sriwijaya menurun. Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan
Sriwijaya melepaskan diri. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang
dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya.
Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya
melemah dan takluk di bawah Majapahit.
Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan
catatan I-tsing. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara
maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan Asia
Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh
3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar Sriwijaya mulai berkembang di
wilayah sekitar Palembang, Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama
- daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang
berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu
menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai
komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok. Ibukota diperintah secara
langsung oleh penguasa, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu
setempat.
Dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di bawah
kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa, Kerajaan Minanga takluk di bawah
pemerintahan Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yang kaya emas telah meningkatkan
prestise kerajaan.
Berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 682
dan ditemukan di pulau Bangka, Pada akhir abad ke-7 kemaharajaan ini telah
menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung.
Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah melancarkan aksi militer
untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini
bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di
Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh
dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat
Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua
kerajaan di Sumatera yaitu Malayu dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi
bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa,
antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke
Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung
Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga,
yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh
Sriwijaya.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya,
menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara.
Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand
dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai
mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut,
Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di
Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di
bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai
raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan
kerajaan di abad yang sama.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan.
Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang
ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih
memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa
kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada
tahun 825.
Di abad ke-9, wilayah kemaharajaan Sriwijaya meliputi
Sumatera, Sri Lanka, Semenanjung Malaya, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku,
Kalimantan, dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut, kerajaan Sriwijaya
menjadi kerajaan maritim yang hebat hingga abad ke-13.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, dinyatakan bahwa
pada abad ke-9 Sriwijaya telah memperluas pengaruh politik, sosial, budaya dan
ekonomi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain:
Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Vietnam Selatan. Dominasi atas
Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute
perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap
kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan
gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Minanga merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing
Sriwijaya yang akhirnya dapat ditaklukkan pada abad ke-7. Kerajaan Melayu ini,
memiliki pertambangan emas sebagai sumber ekonomi dan kata Swarnnadwipa (pulau
emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian Kedah juga takluk dan menjadi
daerah bawahan.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan
Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani,
Thailand Selatan, sebagai ibu kota terakhir kerajaan tersebut, pengaruh
Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya.
Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang)
Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di
Benggala, dan sebuah prasasti berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputra
mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan
dinasti Chola di India selatan cukup baik dan kemudian menjadi buruk setelah
Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan penyerangan di abad ke-11.
Di tahun 902, Sriwjaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun
kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan
Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini
memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan
dengan Arab yang memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam
kerajaan.
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti
Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak,
terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak
diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada
tahun 903, penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran
Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit Seguntang),
Muara Jambi dan Kedah.
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan
arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat Melayu pendukungnya, penemuan
kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah
membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa
kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah
bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.
Berdasarkan Hikayat Melayu, pendiri Kesultanan Malaka
mengaku sebagai pangeran Palembang, keturunan keluarga bangsawan Palembang dari
trah Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-15 keagungan, gengsi dan
prestise Sriwijaya tetap dihormati dan dijadikan sebagai sumber legitimasi
politik bagi penguasa di kawasan ini.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga
mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau
Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan
identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera
Selatan, dan segenap bangsa Melayu. Bagi penduduk Palembang, keluhuran
Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian
tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat
Thailand Selatan dan Malaysia yang menciptakan kembali tarian Sevichai
(Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya melayu Sriwijaya,
walaupun pada akhirnya Malaysia merasa lebih malayu dari pada Indonesia yang
sebenannya tempat lahirnya budaya melayu itu sendiri.
Ini bukanlah keserakahan bangsa Malaysia karena memang
mereka adalah bangsa yang menghargai jati dirinya, cuma kitanya saja yang
memang tidak menghargai budaya dan jati diri kita sendiri. Tengok saja
perbedaan sinentron atau film Indonesia dengan sinentron dan film Malaysia yang
lebih akrab dengan budaya melayu. Apalagi jika kita menonton film anak-anak
Upin Ipin yang sangat melayu, sedangkan sinetron Indonesia lebih
kebarat-baratan.[am]
